HARI KEDUA
Masyarakat Adat Penglipuran yang sadar wisata.
Waktu aku berkunjung ke sana ternyata sedang berlangsung upacara adat
sehubungan dengan persiapan ngaben beberapa hari kemudian. Prosesi
ngaben ini hanya berlangsung beberapa tahun sekali. Jadi sungguh suatu
keberuntungan aku bisa datang pada saat yang tepat (thanx, God).
Walau begitu, masyarakat adatnya tetap dengan ramahnya menyambut setiap
turis yang datang. Berhubung ada upacara adat, tiket masuknya dibebaskan
(jadi aku tidak tau berapa harga tiketnya,yaa...).
Tidak jauh
dari pintu masuk desa, di sebuah ruangan yang luas diletakkan deretan
kotak berisi semacam jerami? yang dibentuk seperti tubuh manusia sebagai
simbolis bagi penduduk desa yang akan di-ngaben berikut foto-foto
mereka. Ada ruangan tersisa juga bagi para keluarga yang menungguinya.
Sedangkan sebagian dari masyarakatnya yang tidak mengikuti upacara
adat, masih tetap berdiam di rumah masing-masing dan mereka (baik pria
maupun wanita, dari yang muda sampai yang sudah berumur sekalipun) siap
mempersilakan turis yang lewat untuk sekedar mampir menyaksikan keunikan
bangunan rumah tinggal mereka, bahkan sampai ke ruang dapurnya. Terima
kasih nini yang sudah bersedia ikutan mejenx di depan dapur, yaaa...
Hmmm....sungguh penerimaan dan keramahan dari penduduk adat yang luar biasa.
Pola letak desanya sengaja dibuat berundak-undak. Semakin tinggi
tingkatnya ditempati oleh keluarga yang lebih berumur. Di bagian
tertingginya ada hutan bambu dan di bagian terendahnya ada lapangan yang
sangat luas (semacam lapangan sepak bola) untuk berbagai kegiatan
masyarakatnya. Jadi betul-betul sudah terstruktur dengan baik.
Ini perjalananku dari hutan bambu yang ada di belakangku itu, yaaa ...
Di samping itu, masyarakat adatnya juga menganut sistem perkawinan monogami yang taat.
Di antara bangunan rumah penduduknya disediakan juga sedikit lahan
kosong dengan sebuah gubuk kecil di atasnya, namanya Karang Memadu.
Dipergunakan khusus untuk mengasingkan pasangan yang ketahuan
berpoligami. Untuk selanjutnya selama hidup, mereka tidak diperbolehkan
meninggalkan lahan tersebut. Dari pihak keluarga masing-masinglah yang
wajib menafkahi pasangan tersebut seumur hidup mereka.
Kejutan
selanjutnya terjadi saat makan siang. Beberapa penduduk desanya juga
menjalankan usaha makanan. Aku tak menyangka di sebuah desa bisa
menemukan ruang makan mungil yang ditata menyerupai cafe dengan penataan
cukup artistik.
Penampilan menu nasi goreng dan ayam goreng sayur-nya juga ditata dengan cukup apik. Dan ... lagi-lagi bersih, sama seperti
penampilan keseluruhan desanya. Wow .... sungguh melebihi gambaranku
tentang sebuah desa.
Beberapa masyarakatnya juga menjual semacam
minuman herbal untuk kesegaran tubuh yang diolah dari campuran daun
cem-cem, gula aren, asam, kelapa muda dan air. Namanya loloh cemcem.
Selain itu juga ada minuman herbal lainnya bernama loloh teleng yang
berguna untuk membersihkan darah, diolah dari campuran bunga teleng,
gula batu dan air panas. Zueerr ... rasanya seperti minuman bersoda
sprite, uuiiyy ....
Ini penampakan tanaman cem-cem yang dijadikan bahan dasar pembuatan minuman herbal loloh cemcem.
O'ya ada penganan semacam klepon juga berikut
parutan kelapa muda diatasnya. Aku coba icip-icip yang dari bahan ubi
ungu. Wow ... ternyata lezat, loh ... Ada campuran rasa manis dan renyah
dari ubi ungunya, berbaur dengan cairan gula merah yang ada di
dalamnya.
Di desa wisata ini juga disediakan homestay bagi para pengunjung yang hendak menikmati langsung suasana desa dengan bermalam di tengah-tengah lingkungan desa-nya.
Hmmm .... gambaranku selama ini tentang sebuah desa
benar-benar terpatahkan oleh sebuah desa nun jauh di sana .... di
Bangli-Bali, bernama ... DESA WISATA PENGLIPURAN ....